Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam
reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan
SDM yang berkualitas
dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan
global yang selama ini kita
abaikan. Dalam kaitan tersebut
setidaknya ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu:
Pertama adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan
angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada
krisis ekonomi
tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah
kesempatan kerja yang ada hanya
sekitar 87,67 juta orang dan ada
sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka
ini meningkat
terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah
sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada
masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia
masih
didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah
tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan
kesempatan kerja dan
rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor
ekonomi.
Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang
berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan
kerja
terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah
angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus
meningkat. Sampai
dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan
tinggi. Kesempatan kerja
yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi
ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di
Indonesia.
Menurut
catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas
angka pengangguran sarjana di Indonesia
lebih dari 300.000 orang.
Fenomena
meningkatnya angka pengangguran sarjana seyogyanya perguruan tinggi
ikut bertanggungjawab. Fenomena
penganguran sarjana merupakan kritik
bagi perguruan tinggi, karena ketidakmampuannya dalam menciptakan iklim
pendidikan yang mendukung kemampuan wirausaha mahasiswa.
Masalah
SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini
kurang didukung oleh
produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu
sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan
dengan
tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan
sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil
tambang), arus modal
asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan
berasal dari kemampuan
manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi.
Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini
merupakan
bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM dalam
menghadapi persaingan ekonomi
global.
Kenyataan ini belum
menjadi kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk kembali memperbaiki
kesalahan pada masa lalu.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor
pendidikan -- tidak lebih dari 12% -- pada peme-rintahan di era
reformasi. Ini
menunjukkan bahwa belum ada perhatian serius dari
pemerintah pusat terhadap perbaikan kualitas SDM. Padahal sudah
saatnya
pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah secara serius membangun SDM
yang berkualitas. Sekarang bukan
saatnya lagi Indonesia membangun
perekonomian dengan kekuatan asing. Tapi sudah seharusnya bangsa
Indonesia
secara benar dan tepat memanfaatkan potensi sumberdaya
daya yang dimiliki (resources base) dengan kemampuan
SDM yang tinggi
sebagai kekuatan dalam membangun perekonomian nasional.
Orang
tidak bekerja alias pengangguran merupakan masalah bangsa yang tidak
pernah selesai. Ada tiga hambatan yang
menjadi alasan kenapa orang
tidak bekerja, yaitu hambatan kultural, kurikulum sekolah, dan pasar
kerja. Hambatan
kultural yang dimaksud adalah menyangkut budaya dan
etos kerja. Sementara yang menjadi masalah dari kurikulum
sekolah
adalah belum adanya standar baku kurikulum pengajaran di sekolah yang
mampu menciptakan dan
mengembangkan kemandirian SDM yang sesuai
dengan kebutuhan dunia kerja. Sedangkan hambatan pasar kerja lebih
disebabkan
oleh rendahnya kualitas SDM yang ada untuk memenuhi kebutuhan pasar
kerja.
Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi
ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan
perdagangan, di
mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang
semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara.
Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut
adanya
efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi
yang menyangkut hubungan intraregional dan
internasional akan
terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global
menurut World
Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau
terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8),
Malaysia
(34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).
Perwujudan
nyata dari globalisasi ekonomi yang akan dihadapi bangsa Indonesia
antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk
berikut: Produksi, di mana
perusahaan berproduksi di berbagai negara, dengan sasaran agar biaya
produksi menjadi
lebih rendah. Hal ini dilakukan baik karena upah
buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah, infrastruktur yang
memadai
ataupun karena iklim usaha dan politik yang kondusif. Dunia dalam hal
ini menjadi lokasi manufaktur global.
Pembiayaan. Perusahaan
global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau melakukan
investasi (baik dalam
bentuk portofolio ataupun langsung) di semua
negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan
sambungan
telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah
memanfaatkan sistem pembiayaan
dengan pola BOT
(build-operate-transfer) bersama mitrausaha dari mancanegara.
Tenaga
kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari
seluruh dunia sesuai kelasnya, seperti
penggunaan staf profesional
diambil dari tenaga kerja yang telah memiliki pengalaman internasional
dan\atau buruh
diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi
maka human movement akan semakin mudah dan bebas.
Jaringan
informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat mendapatkan
informasi dari negara-negara di
dunia karena kemajuan teknologi,
antara lain melalui: TV, radio, media cetak dan lain-lain. Dengan
jaringan komunikasi
yang semakin maju telah membantu meluasnya pasar
ke berbagai belahan dunia untuk barang yang sama. Sebagai
contoh
KFC, Hoka Hoka Bento, Mac Donald, dll melanda pasar di mana-mana.
Akibatnya selera masyarakat dunia --baik
yang berdomisili di kota
maupun di desa-- menuju pada selera global.
Perdagangan. Hal ini
terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif serta penghapusan
berbagai hambatan
nontarif. Dengan demikian kegiatan perdagangan
dan persaingan menjadi semakin ketat dan fair. Bahkan, transaksi
menjadi
semakin cepat karena "less papers/documents" dalam perdagangan, tetapi
dapat mempergunakan jaringan
teknologi telekomunikasi yang semakin
canggih.
Dengan kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di
atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada
meningkatnya
ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan
keragaman transaksi antarnegara
(cross-border transactions) dalam
bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital
flows),
pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran
teknologi informasi yang cepat. Sehingga secara sederhana
dapat
dikemukakan bahwa globalisasi secara hampir pasti telah merupakan salah
satu kekuatan yang memberikan
pengaruh terhadap bangsa, masyarakat,
kehidupan manusia, lingkungan kerja dan kegiatan bisnis corporate di
Indonesia.
Kekuatan ekonomi global menyebabkan bisnis korporasi perlu melakukan
tinjauan ulang terhadap struktur dan
strategi usaha serta
melandaskan strategi manajemennya dengan basis entrepreneurship, cost
efficiency dan competitive
advantages.
Masalah daya saing
dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan
yang tidak ringan.
Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan saing
yang tinggi niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia,
tidak
akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor
dapat mengancam posisi pasar
domestik. Dengan kata lain, dalam pasar
yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan
faktor
yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Oleh
karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun
keunggulan
kompetitif bagi produk Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan
sudah selayaknya menjadi perhatian
berbagai kalangan, bukan saja
bagi para pelaku bisnis itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi,
berbagai organisasi
dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan
kerja dari bisnis corporate.
Realitas globalisasi yang demikian
membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah
satu
tuntutan globalisasi adalah daya saing ekonomi. Daya saing
ekonomi akan terwujud bila didukung oleh SDM yang handal.
Untuk
menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah
pendidikan. Sebab dalam hal ini pendidikan
dianggap sebagai
mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan
pengetahuan. Pendidikan
merupakan kegiatan investasi di mana
pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Sebab bagaimanapun
pembangunan
ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas
penguasaan IPTEK maupun
sikap mental, sehingga dapat menjadi subyek
atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi,
penyiapan
pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh
karena itu dimensi daya saing dalam SDM
semakin menjadi faktor
penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan
tuntutan yang
harus dikedepankan.
Salah satu problem
struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan
merupakan subordinasi
dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum
reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal
ini
sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Visi pembangunan
yang demikian kurang kondusif bagi
pengembangan SDM, sehingga
pendekatan fisik melalui pembangunan sarana dan prasarana pendidikan
tidak
diimbangi dengan tolok ukur kualitatif atau mutu pendidikan.
Problem
utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya
missalocation of human resources. Pada
era sebelum reformasi, pasar
tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif. Di mana tenaga
kerja yang ada
cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak
konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur sampai dengan
perbankan.
Dengan begitu, dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi
politik, yakni terjadinya
kesenjangan ekonomi yang diakselerasi
struktur pasar yang masih terdistorsi.
Kenyataan menunjukkan
banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang
justru bukannya
memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat
proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang
mempertajam
kesenjangan ekonomi. Hal ini terjadi karena visi SDM terbatas pada
struktur pasar yang sudah ada dan
belum sanggup menciptakan pasar
sendiri, karena kondisi makro ekonomi yang memang belum kondusif untuk
itu. Di
sinilah dapat disadari bahwa visi pengembangan SDM melalui
pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang
diciptakan
pemerintah.
Sementara pada pascareformasi belum ada proses
egalitarianisme SDM yang dibutuhkan oleh struktur bangsa yang
dapat
memperkuat kemandirian bang sa. Pada era reformasi yang terjadi barulah
relatif tercipta reformasi politik dan
belum terjadi reformasi
ekonomi yang substansial terutama dalam memecahkan problem struktural
seperti telah
diuraikan di atas. Sistem politik multipartai yang
telah terjadi dewasa ini justru menciptakan oligarki partai untuk
mempertahankan
kekuasaan. Pemilu 1999 yang konon merupakan pemilu paling demokratis
telah menciptakan oligarki
politik dan ekonomi. Oligarki ini justru
bisa menjadi alasan mengelak terhadap pertanggungjawaban setiap
kegagalan
pembangunan.
Dengan demikian, pada era reformasi
dewasa ini, alokasi SDM masih belum mampu mengoreksi kecenderungan
terciptanya
konsentrasi ekonomi yang memang telah tercipta sejak pemerintahan masa
lalu. Sementara di sisi lain
Indonesia kekurangan berbagai keahlian
untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi. Pertanyaannya sekarang
adalah
bahwa keterlibatan Indonesia pada liberalisasi perdagangan
model AFTA, APEC dan WTO dalam rangka untuk apa?
Bukankah harapannya
dengan keterlibatan dalam globalisasi seperti AFTA, APEC dan WTO
masalah kemiskinan dan
pengangguran akan terpecahkan.
Dengan
begitu, seandainya bangsa Indonesia tidak bisa menyesuaikan terhadap
pelbagai kondisionalitas yang tercipta
akibat globalisasi, maka yang
akan terjadi adalah adanya gejala menjual diri bangsa dengan hanya
mengandalkan
sumberdaya alam yang tak terolah dan buruh yang murah.
Sehingga yang terjadi bukannya terselesaikannya
masalah-masalah
sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ekonomi,
tetapi akan semakin
menciptakan ketergantungan kepada negara maju
karena utang luar negeri yang semakin berlipat.
Oleh karena itu,
untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi seyogyanya kebijakan link and
match mendapat tempat
sebagai sebuah strategi yang mengintegrasikan
pembangunan ekonomi dengan pendidikan. Namun sayangnya ide link
and
match yang tujuannya untuk menghubungkan kebutuhan tenaga kerja dengan
dunia pendidikan belum ditunjang oleh
kualitas kurikulum sekolah
yang memadai untuk menciptakan lulusan yang siap pakai. Yang lebih
penting dalam hal ini
adalah strategi pembangunan dan
industrialisasi secara makro yang seharusnya berbasis sumberdaya yang
dimiliki,
yakni kayanya sumberdaya alam (SDA). Kalau strategi ini
tidak diciptakan maka yang akan terjadi adalah proses
pengulangan
kegagalan karena terjebak berkelanjutannya ketergantungan kepada utang
luar negeri, teknologi, dan
manajemen asing. Sebab SDM yang
diciptakan dalam kerangka mikro hanya semakin memperkuat proses
ketergantungan
tersebut.
Bangsa Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA,
memiliki posisi wilayah yang strategis (geo strategis), yakni
sebagai
negara kepulauan dengan luas laut 2/3 dari luas total wilayah; namun
tidak mampu mengembalikan manfaat
sumber kekayaan yang dimiliki
kepada rakyat. Hal ini karena strategi pembangunan yang diciptakan tidak
membangkitkan
local genuin. Yang terjadi adalah sumber kekayaan
alam Indonesia semakin mendalam dikuasai oleh asing. Sebab
meskipun
andaikata bangsa ini juga telah mampu menciptakan SDM yang kualifaid
terhadap semua level IPTEK, namun
apabila kebijakan ekonomi yang
diciptakan tidak berbasis pada sumberdaya yang dimiliki (resources
base), maka
ketergantungan ke luar akan tetap berlanjut dan semakin
dalam.
Oleh karena itu harus ada shifting paradimn, agar proses
pembangunan mampu mendorong terbentuknya berbagai
keahlian yang bisa
mengolah SDA dan bisa semakin memandirikan struktur ekonomi bangsa.
Supaya visi tersebut pun
terjadi di berbagai daerah, maka harus ada
koreksi total kebijakan pembangunan di tingkat makro dengan berbasiskan
kepada
pluralitas daerah. Dengan demikian harapannya akan tercipta SDM yang
mampu memperjuangkan kebutuhan
dan penguatan masyarakat lokal.
Karena untuk apa SDM diciptakan kalau hanya akan menjadi perpanjangan
sistem
kapitalisme global dengan mengorbankan kepentingan lokal dan
nasional.